Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.
Tentang asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang berpendapat dari kata ngabu yang berarti menjadi abu. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata Ngapen yakni penyucian dengan api. Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa pencipta dikenal sebagai dewa api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan mengembalikan roh pada Sang Pencipta.
Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan upacara ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya menghambat perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang sesuai untuk melakukan upacara Ngaben biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham. Tubuh jenasah akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah berbentuk vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau lembu ini dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari jenasah.
Puncak Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur yaknik Lembu atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk keluarga yang kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dilakukan Ngaben.
Upacara Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti sebuah pesta dan memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan upacara Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian. Saat ini, masyarakat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Ngaben secara massal untuk mengemat biaya. Jadi, jasad orang yang sudah meninggal dimakamkan untuk sementara waktu sambil menunggu biayanya mencukupi. Namun, bagi keluarga yang mampu, Upacara adat Ngaben bisa dilakukan secepatnya.
Ngaben
merupakan salah satu upacara besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara
Pitra Yadnya ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal.
Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai
kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, dengan melakukan
prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran
Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.
Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan keadaan.
Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).
Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu).
Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma/roh.
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama masih hidup.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam satu kampung.
Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta (Pedanda), setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga, dibantu oleh masyarakat mempersiapkan sarcophagus atau “bade dan lembu” atau Wadah berbentuk vihara atau padma, sebagai symbol rumah Tuhan. Bade dan Lembu yang disiapkan biasanya sangat megah, terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya, sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah yang tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat kasus bom Bali 1, dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya, kemudian dibakar. Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda. Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.
Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), pada pagi hari ketika upacara ini akan dilaksanakan, maka pihak keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu atau orang yang dianggap paling tua di dalam masyarakat. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap, seperti layaknya orang yang masih hidup.
Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh.
Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan, secara beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk lembu atau vihara ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.
Di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali.
Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan (“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya yang meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia, berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.
Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan keadaan.
Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.
Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).
Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).
Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.
Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu).
Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma/roh.
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama masih hidup.
Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam satu kampung.
Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta (Pedanda), setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga, dibantu oleh masyarakat mempersiapkan sarcophagus atau “bade dan lembu” atau Wadah berbentuk vihara atau padma, sebagai symbol rumah Tuhan. Bade dan Lembu yang disiapkan biasanya sangat megah, terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.
Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya, sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah yang tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat kasus bom Bali 1, dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya, kemudian dibakar. Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda. Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.
Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), pada pagi hari ketika upacara ini akan dilaksanakan, maka pihak keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu atau orang yang dianggap paling tua di dalam masyarakat. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap, seperti layaknya orang yang masih hidup.
Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh.
Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan, secara beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk lembu atau vihara ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.
Di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali.
Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan (“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.
Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.
Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya yang meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia, berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.