Berikut adalah 10 tempat wisata di Jawa Barat yang pantas dikunjungi:
1. Pantai Pelabuhan Ratu
pantai pelabuhan ratu
sangat cocok untuk berselancar. Di Pantai Pelabuhan Ratu terdapat fasilitas hotel, dari yang besar dan mewah hingga yang kecil dan murah. Sepanjang pantai anda dapat menemukan banyak restoran hidangan laut. Masyarakat setempat juga memiliki kepercayaan akan Ratu Kidul, sang penguasa laut selatan.
2. Curug Cikaso
curug cikaso
3. Taman Wisata Mekarsari
taman wisata mekarsari
4. Taman Bunga Nusantara
taman bunga nusantara
5. Goa Buniayu
goa buniayu
6. Pantai Pangandaran
pantai pangandaran
7. Green Canyon
green canyon
8. Arung Jeram Sungai Citarik
arung jeram citarik
9. Arung Jeram Sungai Cicatih
arung jeram cicatih
10. Pantai Ujung Genteng
pantai ujung genteng
Tempat wisata di Jawa Barat sangatlah banyak, apabila anda memiliki kesempatan untuk mengunjunginya maka tidak ada salahnya dicoba. Menghabiskan waktu luang atau liburan tidak harus jauh hingga pergi ke luar negeri, namun juga dapat kita nikmati di lokasi yang dekat dari DKI Jakarta. Tempat wisata di Jawa Barat tidak kalah bagus dengan tempat wisata di luar negeri!
Candi
Cangkuang termasuk ke dalam wilayah Kampung Ciakar, Desa Cangkuang,
Kecamatan Leles. Secara geografis beradapada koordinat 7º 06’ 067” LS
107º 55’168”. Untuk mencapai Candi Cangkuang bisa naik bus atau elf
jurusan Bandung-Garut, berhenti di alun-laun Leles, kemudian dilanjutkan
dengan naik delman atau ojeg, atau berjalan kaki sejauh 3 Km.
Candi Cangkuang terletak di puncak bukit kecil di Pulau Panjang
yang dikelilingi danau “Situ” Cangkuang, namun karena adanya
pendangkalan pada sebagian danau maka salah satu sisinya menyatu dengan
tanah di sekitar. Selain candi, ditemukan pula makam Arif Muhammad yang
letaknya berdampingan dengan candi dan masih di areal Pulo Panjang ini
terdapat pemukiman masyarakat adat Pulo.
Nama Candi Cangkuang diambil dari nama Desa Cangkuang tempat dimana
candi tersebut ditemukan, namun ada yang berpendapat bahwa Cangkuang
adalah nama tumbuhan/pohon Cangkuang yang banyak tumbuh di kawasan
tersebut. Candi Cangkuang ditemukan kembali pada tanggal 9 Desember 1966
berkat usaha penelusuran oleh ahli purbakala Drs. Uka Tjandrasasmita
terhadap buku Notulen Bataviach Genoot Schap yang ditulis oleh orang
Belanda bernama Vorderman tahun 1893. Dalam buku tersebut dinyatakan
bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuna Arif Muhammad dan sebuah
arca siwa. Penelitian tahun 1967/1968 dengan cara penggalian di sekitar
daerah tersebut menemukan pondasi kaki candi dan serakan batu bahkan
oleh penduduk digunakan sebagai nisan makam.
Pada tahun 1974 -1976 dilakukan pemugaran (rekonstruksi) bangunan
candi yang dilaksanakan oleh proyek Pembinaan Kepurbakalaan dan
Peninggalan Nasional Depdikbud dan hasilnya seperti sekarang ini dan
makam Arif Muhammad yang terletak di sebelah candi. Pemugaran dilakukan
berdasarkan sisa pondasi dan sejumlah temuan lepas. Temuan batu-batu
asli ± 20 % memang sangat terbatas, tetapi cukup mewakili bagian-bagian
candi. Candi selesai dipugar dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan tanggal 8 Desember 1976.
Candi Cangkuang berdenah bujur sangkar dengan ukuran panjang 4,5 m,
lebar 4,5 m dan tinggi 8,5 meter dengan sebuah pintu masuk ke bilik
utama di sisi timur. Candi terbuat dari batu andesit polos. Secara
keseluruhan candi ini terdiri atas kaki, badan, dan atap. Kaki candi
memiliki tangga yang diapit oleh dua pipi tangga menuju badan candi.
Pada badan, terdapat bilik candi dengan arca Siwa dalam posisi duduk di
punggung lembu (Nandi) dengan kaki kiri dilipat ke muka perut, kedua
tangan arca patah, dibuat dari batu andesit, dengan tinggi 40 cm. Temuan
arca Siwa yang merupakan dewa dalam Agama Hindu, menunjukan bahwa
pembangunan candi untuk tempat pemujaan masyarakat yang beragama Hindu.
Diduga oleh beberapa ahli bahwa candi dibangun pada abad ke-8 M, yang
merupakan mata rantai yang hilang dari penemuan Candi Jiwa di Karawang
(Abad ke-4), Candi di Wonosobo dan candi di Ambarawa pada abad ke-7 dan
ke-8 M. Atap candi terdiri dari atas 4 tingkat yang bentuknya mengecil
ke atas dengan kemuncak tunggal di atasnya.
Arief Muhammad merupakan tokoh penyebar Agama Islam di daerah
tersebut (Ani Rostiyati, 1996:70-73). Arif Muhammad semula senapati
Kesultanan Mataram Islam yang terletak di Yogyakarta, yang ditugaskan
oleh Sultan Agung untuk menyerang dan mengusir VOC/Kompeni di Batavia di
bawah pimpinan J.P. Coen, pada abad ke 17 M. Usaha penyerangan
tersebut gagal, pasukan Mataram Islam mengalami kekalahan. Dengan
kekalahan tersebut Arif Muhammad tidak pulang ke daerah asalnya di
Yogyakarta, melainkan melarikan diri ke daerah pedalaman priangan,
tepatnya di daerah Leles, Garut. Selanjutnya Arif Muhammad menetap dan
menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat setempat yang kemungkinan
besar menganut agama Hindu. Hal tersebut biasa dilihat dari adanya
bangunan candi Hindu. Usaha mengislamkan penduduk setempat berhasil dan
hingga sekarang seluruh penduduk setempat secara nominal beragama Islam.
Arif Muhammad membentuk keluarga dengan menikahi wanita setempat
serta memperoleh enam anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Setelah
meninggal, Arif Muhammad dimakamkan di dekat candi Cangkuang.
Makam Arif Muhammad merupakan rekontruksi dari bentuk aslinya,
ketika pemugaran Candi Cangkuang tahun 1976. Makam berdenah empat
persegi panjang berukuran 260 x 126 x 80 cm, dengan nisan ganda
berbentuk empat persegi panjang berukuran 46 x 25 x 6 cm dipasang saling
berhadapan jaraknya 1 m. Makam ini banyak dikunjungi oleh masyarakat,
namun ada larangan adat yang harus dipatuhi yaitu tidak boleh berziarah
ke makam pada hari Rabu. Hari Rabu dipakai hanya untuk kegiatan
mengaji, ceramah dan mempelajari ilmu agama Islam.
Ditemukan pula kitab-kitab tulisan tangan yang ditulis di kertas
yang terbuat dari kulit kayu pohon saeh, yaitu kitab tauhid, kitab
jurumiah, kitab ilmu sufi, kitab fikih, ilmu bahasa, kitab doa, kitab
khutbah Jum’at, dan Alm Qur’an. Kesemua kitab merupakan peninggalan Arif
Muhammad yang sekarang disimpan di Museum Situs Cangkuang, tidak jauh
dari makam Arif Muhammad.
Lokasi: Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten garut
Koordinat : 7º 06’ 067” S, 107º 55’168” E
Telepon:
Email:
Internet:
Arah: Untuk mencapai Candi Cangkuang bisa naik bus atau elf jurusan Bandung-Garut, berhenti di alun-laun Leles, kemudian dilanjutkan dengan naik delman atau ojeg, atau berjalan kaki sejauh 3 Km. - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=109&lang=id#sthash.XgfAlHJf.dpuf
Candi Cangkuang
Situs
Karangkamulyan merupakan situs dari masa Hindu-Buddha dengan koordinat
7°20,84'S 108°29,376'E. Diperkirakan situs ini merupakan peninggalan
masa Kerajaan Galuh. Situs Karangkamulyan berada di Desa Karangkamulyan,
Kecamatan Cijeungjing. Komplek situs berupa hutan yang luasnya 25,5
hektar berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Ciamis – Banjar.
Batas situs di sebelah utara adalah jalan raya, sebelah timur Sungai
Cimuntur, selatan Sungai Citanduy, dan barat rest area.
Kapan situs ini ditemukan tidak diketahui secara pasti. Masyarakat
setempat menyebutkan bahwa sejak sekitar tahun 1700 komplek ini sudah
sering dikunjungi untuk berbagai maksud. Namun demikian inventarisasi
benda-benda purbakala yang dilakukan oleh N.J. Krom pada tahun 1914
tidak menyebutkan adanya komplek Karangkamulyan.
Komplek situs Karangkamulyan sekarang merupakan objek wisata budaya
yang sudah tertata rapi. Gerbang masuk utama terdapat di bagian barat.
Pada bagian ini tersedia lahan parkir yang cukup luas dilengkapi
fasilitas warung makanan yang berjajar rapi di bagian timur halaman
parkir. Di sebelah selatan halaman parkir masih terdapat halaman cukup
luas yang pada bagian barat berdiri fasilitas masjid yang cukup megah.
Untuk memasuki komplek Karangkamulyan melalui pintu masuk yang terdapat
di sisi timur halaman belakang tempat parkir. Dengan melalui jalan tanah
yang terpelihara bersih beberapa situs dengan mudah dan nyaman dapat
dijangkau. Di dalam komplek situs tersebut terdapat beberapa objek.
a) Pangcalikan
Pertama kali yang dijumpai dari pintu masuk situs ke arah timur
yaitu Situs Pangcalikan. Situs ini berupa lahan yang telah diberi pagar
besi. Situs Pangcalikan terdiri tiga halaman masing-masing dibatasi
susunan batu dengan ketinggian sekitar 1 m lebar 0,35 m. Halaman pertama
terletak di sebelah selatan. Halaman kedua terdapat di sebelah utara
halaman pertama. Selanjutnya halaman ketiga terdapat di sebelah utara
halaman kedua.
Pada halaman ketiga ini terdapat bangunan cungkup tanpa dinding
tetapi diselubungi vitrage putih. Tinggalan yang ada berupa batu putih
tufaan berukuran 92 x 92 cm dengan tinggi keseluruhan 48 cm. Batu ini
oleh masyarakat disebut pangcalikan. Di sebelah selatan batu ini
berjajar tiga buah batu datar dari bahan andesitik. Di sebelah barat
daya batu pangcalikan terdapat sekumpulan batu satu diantaranya
berbentuk bulat panjang.
b) Sipatahunan, Sanghyang Bedil dan Panyabungan Hayam
Melalui jalan tanah ke arah timur terdapat simpang empat. Simpang
empat ini ke arah utara menuju Sipatahunan dan ke arah selatan menuju
Situs Sanghyang Bedil dan Panyabungan Hayam. Sipatahunan adalah salah
satu bagian tepian Citanduy yang landai. Di sini tidak terdapat objek
arkeologi.
Situs Sanghyang Bedil berupa bangunan susunan batu berbentuk segi
empat. Pada sisi selatan terdapat celah tembok sebagai jalan masuk. Di
tengah lahan terdapat 2 batu panjang dalam keadaan patah. Sebuah batu
dalam posisi tegak dan yang satunya lagi roboh. Batu yang roboh ini
disebut Sanghyang Bedil karena bentuknya mirip senapan (bedil).
Di sebelah selatan Situs Sanghyang Bedil terdapat lahan yang
disebut Panyabungan Hayam. Halaman ini berbentuk melingkar yang di
tengahnya terdapat pohon bungur. Pada sisi utara terdapat tatanan batu.
c) Lambang Peribadatan
Menyusuri jalan tanah ke arah utara kemudian berbelok ke timur akan
dijumpai batu Lambang Peribadatan. Batu ini berada pada halaman yang
dibatasi susunan batu berbentuk bujur sangkar. Jalan masuk berada di
sisi timur. Di tengah halaman terdapat batu berdiri berbentuk segi empat
panjang, dikelilingi susunan batu bulat. Batu berdiri tersebut dahulu
(tahun 1960-an) ditemukan di sebelah utara lokasi sekarang pada jarak
sekitar 10 m. Dengan berbagai pertimbangan kemudian didirikan di lokasi
sekarang dan dibuatkan pagar dari susunan batu sebagaimana objek yang
lain.
d) Cikahuripan
Menyusuri jalan tanah ke arah timur akan sampai di Cikahuripan.
Cikahuripan merupakan pertemuan dua sungai kecil yang bernama Citeguh
dan Cirahayu. Kondisi Cikahuripan yang ada sekarang merupakan tempat
mandi untuk keperluan tertentu. Bangunan yang ada merupakan bangunan
baru dengan dilengkapi berbagai fasilitas misalnya tempat sholat.
e) Panyandaan dan Makam Sri Bhagawat Pohaci
Ke arah timur dari Cikahuripan terdapat susunan batu berbentuk
persegi yang menyerupai tembok batu. Pada sisi timur terdapat celah
sebagai jalan masuk. Di tengah struktur batu keliling terdapat batu
berdiri dan batu datar berbentuk segitiga yang dikelilingi susunan batu
kecil. Situs ini disebut Panyandaan.
Di depan Situs Panyandaan terdapat tiga buah batu berdiri yang
salah satunya dalam posisi condong. Di sekitar batu berdiri ini terdapat
sebaran batu-batu bulat. Objek ini dipercaya sebagai makam Sri Bhagawat
Pohaci.
f) Pamangkonan
Situs Pamangkonan terletak jauh di sebelah selatan Situs Panyandaan
atau di sebelah timur Situs Pangcalikan. Objek berupa susunan batu
berbentuk persegi. Pada sisi timur terdapat celah sebagai jalan masuk.
Di tengah objek terdapat susunan batu-batu bulat mengelilingi salah satu
batu. Batu ini juga disebut Sanghyang Inditinditan dahulu ditemukan di
Sungai Citanduy.
g) Makam Adipati Panaekan
Jalan dari Pamangkonan ke arah tenggara terdapat makam Adipati
Panaekan. Objek yang ada berupa tatanan batu bersusun melingkar. Di
tengah susunan batu tersebut terdapat makam. Adipati Panaekan adalah
tokoh yang menurunkan bupati pertama Ciamis.
h) Fetur Parit dan Benteng
Selain beberapa objek sebagaimana disebutkan terdahulu, di komplek
Karangkamulyan terdapat fetur parit. Parit ini dijumpai di sebelah barat
halaman parkir dan di sekeliling situs inti. Jejak parit kuna di
sebelah barat halaman parkir tepatnya terletak pada batas situs sekarang
dengan kawasan rest area. Parit tersebut membujur utara-selatan
menghubungkan antara Sungai Citanduy dengan Sungai Cimuntur. Keadaan
parit di sebelah selatan jalan raya sudah tidak begitu tampak. Sedangkan
di sebelah utara jalan raya masih jelas keadaannya. Lebar parit yang
ada sekitar 10 m dengan kedalaman sekitar 2 m.
Situs Karangkamulyan (Zona I), dikelilingi oleh parit kuna yang
memiliki lebar bervariasi 0,5-1,5 meter, sebagian tertutup oleh semak.
Pada sisi luar parit di sebelah terdapat gundukan tanah membentuk
benteng membujur utara-selatan, dengan tinggi sekitar 2 m dengan lebar
bervariasi antara 3 hingga 4 m. Dilihat dari jejak-jejak yang ada,
benteng ini juga berlanjut hingga tepi Sungai Cimuntur. Berdasarkan
temuan keramik asing menunjukkan berasal dari sekitar abad ke-10 – 17.
Peninggalan di situs Karangkamulyan dihubungkan dengan legenda
Ciung Wanara. Disebutkan ketika Prabu Adimulya Permanadikusuma
memerintah Galuh, berkehendak untuk menjalani hidup sebagai pertapa.
Untuk mewujudkan keinginan itu, pemerintahan Galuh diserahkan kepada
Prabu Bondan Sarati. Prabu Adimulya Permanadikusuma memulai kehidupan
sebagai pertapa bergelar Pandita Ajar Sukaresi.
Galuh di bawah pemerintahan Prabu Bondan Sarati tidak lagi makmur.
Rakyat sangat menderita karena raja memerintah dengan sewenang-wenang.
Diam-diam raja ingin melenyapkan Pandita Ajar Sukaresi. Di pertapaan,
Ajar Sukaresi terus menerus melatih kesktian. Hingga akhirnya kesaktian
Ajar Sukaresi terkenal di mana-mana. Melihat keadaan seperti ini Bondan
Sarati tidak merasa senang tetapi merasa sebaliknya.
Dengan dalih ingin mengetahui kesaktian Ajar Sukaresi, Bondan
Sarati meminta kepada Ajar Sukaresi untuk menebak isi kandungan Dewi
Naganingrum, istri Ajar Sukaresi, yang sebenarnya tidak mengandung. Ajar
Sukaresi tahu bahwa Dewi Naganingrum tidak mengandung, namun ia
mengatakan bahwa Dewi Naganingrum mengandung bayi laki-laki yang kelak
akan menyaingi Bondan Sarati.
Bondan Sarati gusar dan memerintahkan prajuritnya untuk membunuh
Ajar Sukaresi. Tidak ada prajurit yang berhasil membunuhnya bahkan
selalu mendapat celaka. Kandungan Dewi Naganingrum semakin terlihat.
Bondan Sarati semakin gusar. Untuk mencegah ramalan Ajar Sukaresi, Dewi
Naganingrum dibuang di hutan. Raja berpesan kepada Paman Lengser jika
Dewi Naganingrum benar-benar melahirkan bayi laki-laki maka bayi itu
harus dibunuh.
Ketika saatnya tiba Dewi Naganingrum benar melahirkan bayi
laki-laki. Paman Lengser tidak tega membunuhnya. Bayi itu kemudian
dimasukkan ke dalam peti dengan dibekali telur dan keris kemudian
dihanyutkan di Sungai Citanduy. Untuk memberi bukti kepada raja, Paman
Lengser membunuh anak anjing dan darahnya diperlihatkan kepada raja.
Bayi yang dihanyutkan ditemukan oleh nelayan yang bernama Aki
Balangantrang dan kemudian dirawat dan diasuhnya. Telur ayam yang
menyertainya juga dirawat yang kemudian menetas jadi ayam jantan. Selama
dalam asuhan Aki Balangantrang bayi tersebut disembunyikan di Geger
Sunten. Anak yang diasuh Aki Balangantrang suatu saat diajak ke hutan
untuk belajar berburu. Di hutan menjumpai burung ciung dan kera
(wanara). Anak asuh Aki Balangantrang sangat terkesan dan meminta kepada
Aki Balangantrang supaya dirinya diberi nama Ciungwanara.
Berkat asuhan Aki Balangantrang, Ciungwanara tumbuh menjadi seorang
dewasa yang cerdas dan tangkas. Ketika itu di Galuh sedang marak
perjudian sabung ayam. Ayam jantan yang menyertai bayi Ciungwanara juga
tumbuh menjadi ayam aduan yang tangguh. Kecerdasan Ciungwanara dan
ketangguhan ayam jantannya terdengar oleh Bondan Sarati. Raja Galuh ini
mulai gusar. Ia memerintahkan membunuh Ciungwanara dengan siasat
mengadakan sayembara sabung ayam. Direncanakan ketika berlangsung sabung
ayam Ciungwanara dibunuh.
Sayembara sabung ayam yang diselenggarakan Bondan Sarati hadiahnya
bagi yang bisa mengalahkan ayam raja berupa separuh wilayah Kerajaan
Galuh. Mendengar berita itu, Ciungwanara tidak segan-segan memanfaatkan
kesempatan. Ketika terjadi pertempuran antara ayam Ciungwanara dan ayam
Bondan Sarati, Ciungwanara selalu waspada, sehingga terhindar dari usaha
pembunuhan. Akhirnya ayam Ciungwanara dapat mengalahkan ayam raja.
Atas kekalahannya dalam sabung ayam, Bondan Sarati ingkar janji
untuk memberikan separoh wilayah kerajaan. Bahkan memerintahkan rakyat
membuat kerangkeng untuk menangkap Ciungwanara. Ketika kerangkeng sudah
siap Bondan Sarati memeriksanya. Ketika itu pula Ciungwanara beraksi
menutup kerangkeng. Prabu Bondan Sarati terjebak di dalamnya dan tidak
bisa keluar selama-lamanya. Melihat peristiwa ini seluruh rakyat Galuh
bersuka cita. Kesengsaraan yang mereka derita selama ini terbalaskan.
Ciungwanara kemudian diangkat menjadi raja di Galuh.
Situs ini sangat cocok dijadikan objek wisata karena berada di
jalur jalan utama yang menghubungkan Jawa Barat – Jawa Tengah. Pada
sektor kepurbakalaan pemanfaatannya sudah dilakukan namun masih perlu
adanya peningkatan. Sebagai peninggalan purbakala seharusnya informasi
tentang kepurbakalaan itu sendiri yang perlu diangkat. Legenda yang
melatarbelakanginya terasa lebih mendominir bila dibandingkan dengan
aspek peninggalan purbakalanya. Keberadaan “rumah informasi” perlu
ditingkatkan fungsinya. Lain dari pada itu, situs Karangkamulyan masih
menyimpan potensi yang berkaitan dengan keanekargaman hayati yang ada di
situs tersebut. Kera yang hidup di hutan dan berbagai jenis tumbuhan
dapat dijadikan daya tarik tersendiri.
Koordinat : 7°20,84'S, 108°29,376'E
Telepon:
Email:
Internet:
Arah:
Fasilitas: lahan parkir, warung makanan, masjid.
Jam Buka:
Tutup:
Tiket:
Informasi Lebih Lanjut: - See more at: http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=126&lang=id#sthash.gNGbZeOT.dpuf